Periode Klasik (antara tahun 1885 – 1937 M)
Jangka ini adalah masa-masa pembenihan dan penamaan dasar-dasar berdirinya pondok pesantren. Pemimpin pertama yang mendirikan pengajaran ini, ialah KH. Tamim Irsyad dibantu KH. Cholil sebagai mitra kerja dan sekalian menjadi menantunya. Beliau menanamkan jiwa Islam yang diaktualkan dalam format sikap dan tindakan yang riil dalam kehidupan sehari-hari.
Berdirinya Pondok Pesantren Darul ‘Ulum berawal dari kedatangan KH. Cholil Bangkalan saat, dikala beliau datang ke jombang demi membetuli kondisi ekonomi keluarga KH. Tamim yang mempunyai hikmah besar dalam meneruskan kebiasaan pendidikan yang pernah dia terima. Ditemukanlah desa Rejoso, daerah yang secara naluriah keagamaan KH. Tamim yang benar-benar representatif sebagai lahan pengorbanan menegakkan agama Islam.
Alasan lain dipilihnya desa Rejoso sebagai lahan pengorbanan mengajari agama Islam oleh beliau pondok pesantren yang direncanakan dan yaitu hutan itu, ialah wadah yang dihuni oleh masyarakat hitam dan jauh dari praktik-praktik sehat berdasarkan etika ajaran agama Islam.
Mereka ialah manusia jahat yang acap kali melaksanakan kegaduhan tanpa memperhitungkan hak-hak manusia tetangganya. Mereka ialah manusia yang tak mengamati tata krama pergaulan hidup dalam kebersamaan. Untuk itulah dua kiai ini sungguh-sungguh memerlukan modal yang kuat demi terlaksananya cita-cita membangun masyarakat yang berbeda sama sekali dengan format masyarakat yang ada di situ.
Modal hal yang demikian memang sudah dimiliki olehnya. KH. Tamim Irsyad ialah spesialis dalam syariat Islam di samping mempunyai ilmu kanuragan kelas tinggi, demikian pula KH. Cholil ialah pengamal ilmu tasawuf di samping mempunyai bekal ilmu syariat Islam pada biasanya beliau waktu itu sudah diandalkan oleh gurunya untuk mewariskan ilmu tarekat qodiriyah wannasaqbandiyah-nya terhadap orang yang mempunyai hak menerimanya, dengan kata lain beliau mempunyai hak sebagai Al-Mursyid(guru tanda dalam dunia tarekat).
Pada jangka waktu ini metode pendidikan ilmu pengetahuan dikerjakan oleh beliau berdua dengan cara pidato dan praktikum seketika via saluran sarana yang ada pada masyarakat. KH. Tamim Irsyad memberikan pengajian ilmu Al-Quran dan ilmu Fiqih atau tata tertib syariat Islam,
walaupun KH. Cholil memberikan pengajian ilmu tasawuf dalam wujud pengalaman tarekat qodiriyah wannaqsyabandiyah di samping bimbingan ilmu tauhid sehingga dengan demikian para murid tak berat melaksanakan syariat Islam. Oleh kiai Tamim para murid di ajari syariatnya dan oleh kiai Cholil dilatih mencintai yang punya syariat Islam.
Adapun sarana untuk aktivitas hal yang demikian ada dua yang masing-masing dibangun tahun 1898 dan tahun 1911, musholla itu sendiri hingga kini masih terawat bagus, diaplikasikan balai pertemuan dan pengajian. Siswa yang tercatat pada jangka waktu ini antara lain dari tempat Jawa Timur dan Jawa Tengah, lebih-lebih dari Jombang, Mojokerto, Surabaya serta Madura. Jumlahnya sekitar 200 orang yang tinggal mondok. Potensi jebolan cukup memadai, sehingga dengannya Darul ‘Ulum pada jangka waktu selanjutnya berkembang dengan cukup membanggakan.
Sekitar akhir abad 19 (XIX), dikala pondok pesantren ini berkembang cukup meyakinkan, didatangkanlah kiai Syafawi adik kiai Cholil dari Demak, Jawa Tengah untuk menolong kelancaran pengajian, terpenting di bidang studi ilmu Tafsir dan ilmu Alat. Melainkan sayang, kiai Syafawi tak bertahan lama, sebab pada tahun 1904 M beliau meninggalkan dunia fana ini.
Dua puluh enam tahun selanjutnya (1930) kiai Haji Tamim Irsyad menyusulkan Innalillah Wainna Ilaihirojiun. Tetapi, sebelum beliau wafat sudah mengader putranya yang kedua ialah KH. Romli Tamim, sebagai teladan pimpinan Darul ‘Ulum jangka waktu kedua.
Sepeninggal kedua beliau di atas, kiai Cholil tinggal sendiri mengemban amanat kelangsungan hidup sarana pengajaran yang dibina. Dalam kesendiriannya inilah kiai Haji Cholil mengalami Jadzab (berdasarkan istilah pondok pesantren), atau barangkali terserang depresi (berdasarkan istilah psikologi).
Sesudah kiai Cholil bisa menyelesaikan persoalan pribadinya hal yang demikian barulah beliau bangkit mengemban amanatnya yang kian rumit. Dia kini yang mengatur segala bidang studi, yang dulu dikendalikan berdua.
Tugas-tugas hal yang demikian akibatnya oleh kiai Cholil bisa didelegasikan terhadap generasi penerus tanpa memunculkan guncangan sosial yang berarti adalah dengan datangnya KH. Romli Tamin putra kedua KH. Tamim Irsyad atau adik ipar KH. Cholil dari studi di Pondok Pesantren Tebuireng pada tahun 1927 M.
KH. Romli Tamim pulang ke Rejoso dengan dibekali oleh gurunya sebagian santri antara lain, adalah KH. Akhmad Jufri (Karangkates Kediri) dan KH. Zaid Buntet (Cirebon). Dengan kata lain kiai yang satu ini bisa menuntaskan regenerasi dengan mulus tanpa semestinya memunculkan kesenjangan antar generasi sebelum dengan generasi sesudahnya melewati lantaran lahirnya KH. Romli Tamim sebagai tokoh tongkat estsfet kepemimpinan hal yang demikian hasilnya bisa dipecahkan kiai Cholil dengan bukti munculnya tokoh-tokoh baru Pondok Pesantren peninggalan beliau pada tahun 1937 M. (wafat 1937M).
Tokoh hal yang demikian antara lain KH. Romli Tamim putra KH. Tamim Irsyad dan KH. Dahlan Cholil putra KH. Cholil. Dua tokoh inilah yang memimpin perkembangan pondok pesantren ini pada jangka waktu pertengahan.
Periode Pertengahan (antara tahun 1937 sampai 1958 M)
Pondok pesantren yang sudah berdiri bagai batu karang di laut, konsisten tegar walau ombak menerjang datang. Ditengah-tengah juang bangsa Indonesia meneriakkan kata merdeka pada ketika itulah generasi muda meledakkan dadanya dalam wujud koperasi, gerakan politik, ataupun wujud yang lain. Mereka cuma memiliki satu tujuan, Indonesia seharusnya merdeka.
Generasi pondok pesantren ini bahkan tak pernah tertinggal meskipun dalam wujud gerakan yang lain. Sepeninggalan tokoh-tokoh tua, timbul Kiai Romli Tamim dan Kiai Dahlan Cholil sebagai tokoh muda yang baru saja mengatasi studinya di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang di asuh Kiai Haji Hasyim Asy’ari serta memaksimalkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya dari studi beliau di Makkah, Saudi Arabia,
Kiai Dahlan Cholil pulang ke Rejoso tahun 1932 M dan kemudian disusul oleh adiknya yang bernama Kiai Haji Ma’soem Cholil tahun 1937 M yakni tokoh-tokoh muda yang senantiasa menyingsingkan lengan dengan turut bersama bangsa dalam wujud mencerdaskan bangsa melewati sarana pengajaran yang dibinanya. Pada jangka waktu inilah pondok pesantren ini menampakkan identitas yang hakekatnya. Hal ini bisa dipandang dari Darul ‘Ulum (Rumah Ilmu) pada tahun 1933 M.
Tokoh hal yang demikian menekankan bahwa penamaan Darul ‘Ulum bukan cuma sekadar mengambil nama besar madrasah Darul ‘Ulum yang ada di Makkah, Saudi Arabia yang secara kebetulan beliau juga yaitu tokoh madrasah hal yang demikian waktu masih bermukim di sana.
Tetapi lebih dari itu berkeinginan mengambil model sebagai wadah sarana pengajaran yang memiliki corak khas di antara pengajaran yang ada waktu itu. Adalah untuk mencetak manusia-manusia muslim yang bendung cuaca, tak gampang terguncang bergantinya masa dan teladan. Hati konsisten erat di sisi Allah walau bagaimanapun keadaannya, badan kuat membendung godaan hidup. Inilah baru muslim.
Waktu siang ataupun pagi siswanya diajak seketika oleh beliau bertanam, berdagang menanti rezeki. Bila malam mereka bersujud khusyuk menanti hidayat Allah, dan jikalau fajar sudah datang menyambutnya, mereka tersenyum cemerlang berkat sudah datang, mereka masih diberikan kans melihat alam. Pengajaran semacam inilah, akibatnya cukup luar biasa. Dan ini sudah dinikmati oleh pondok pesantren Darul ‘Ulum.
Penelaahan ilmu pengetahuan pada jangka waktu ini kian mekar di tempat lain pada lazimnya, bukan lagi cuma berkelok-kelok di tempat ilmu pengetahuan agama saja. Di samping itu pembagian tugas antara tokoh-tokoh yang ada kian terang. Kiai Romli Tamim mengendalikan kebijakan lazim pondok pesantren serta ilmu tasawuf dan tarekat qodiriyah wannasaqsyabandiyahnya,
KH. Dahlan Cholil mengendalikan kebijakan khusus siasah (manajemen) dan pengajian syariat plus Al-Quran, sedang kiai Ma’soem Cholil mengemban organisasi sekolah dan manajemennya. Sementara itu kiai Umar Tamim adik kiai Romli Tamim sebagai asisten aktif di bidang tarekat. Seluruh tugas hal yang demikian masing-masing dibantu oleh santri-santri senior, seperti KH. Ustman Al Isyaqi yang berasal dari Surabaya dalam praktikum qodiriyah wannaqsyabandiyah.
Ciri khas tamatan pada jangka waktu ini seakan bisa dijabarkan melewati dua wujud, antara lain sebagai berikut:
1. Format salikin atau pakar praktikum tarekat qodiriyah wannaqsyabandiyah. Mereka ini yaitu alumni amalan tarekat di bawah asuhan KH. Romli Tamim Irsyad. Beberapa mereka sudah menjadi Al-Mursyid semenjak zaman KH. Romli Tamim.
2. Format huffadz atau penghafal Al-Quran, yang yaitu huffadz andalan di masing-masing daerahnya. Mereka ini yakni jebolan madrasah huffadz Al-Quran di asuh segera oleh KH. Dahlan Cholil.
Dalam pengorbanan jasmani membela negara peran pondok pesantren tak tanggung-tanggung, ucap pondok pesantren ini memang lokasinya di perbatasan garis demarkasi tentara pejuang dengan tentara penjajah.
Jikalau Belanda sudah menguasa Mojokerto, bukan main sibuknya penghubung dan penghuni pondok pesantren ini, tak terkecuali kiai-kiainya. Ishomudin putra KH. Romli Tamim tertembak jatuh menghadap Allah lantas oleh pelor tentara Belanda pada tahun 1949 M. Demikian pula KH. Romli Tamim sempat menginap di rumah KNIL Mojoagung sebab tertangkap Belanda.
Ini seluruh yaitu gambaran keterlibatan pondok pesantren Darul ‘Ulum dalam pengorbanan jasmani memperjuangkan tanah Indonesia merdeka. Merdeka kata pejuang, merdeka pula para kiai. Kebenaran semestinya diperjuangkan hingga tubuh ini mati diamkan tanah. Sebab ambisi demikian itulah KH. Romli Tamim dan KH. Dahlan Cholil sebagai tokoh ulama mengizinkan segala santri
serta segala simpatisannya mewujudkan pondok pesantren ini sebagai markas tentara Hisbullah pada kelas II menghajar Belanda. Kereta api sempat diledakkan oleh pejuang Hisbullah di muka pondok pesantren yang dekat dengan rel kereta ini.
Pada tahun 1938 M didirikan sekolah klasikal yang pertama di Darul ‘Ulum yang diberikan nama madrasah ibtidaiyyah Darul ‘Ulum. Sebagai tindak lanjut sekolah hal yang demikian pada tahun 1949 M didirikan ajang belajar untuk para calon pengajar dan dakwah, dengan nama madrasah muallimin (untuk siswa putra) dan pada tahun 1945 M berdirilah sekolah yang sama untuk kaum putri. Sekolah hal yang demikian dihuni sekitar 3000 siswa.
Pada komponen lain keluarga besar Darul ‘Ulum jam’iyah tarekat qodiriyah wannaqsyabandiyah. Member latihnya mencakup jombang dan menembus tempat-tempat malah ada Sulawesi Selatan. Jumlah member puluhan ribu, bisa disaksikan di sentra latihan Rejoso sekiranya jam’iyah ini merayakan khusus bagi warganya. Yang awam yakni tiga kali dalam setahun, merupakan pada bulan Sya’ban , bulan muharram dan bulan robiul akhir.
Periode ini ditutup pada tahun 1958 M, yang ditandai dengan kematian dua tokohnya , yaitu KH. Dahlan Cholil pada bulan sya’ban, kemudian disusul oleh KH. Romli Tamim pada bulan Ramadhan, innalillah wa innailaihi raji’un.